Tak Ada Persoalan Mendasar dari Perubahan Wantipres Menjadi DPA

Berita305 Dilihat

Jakarta – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra merespons langkah DPR yang akan merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden atau UU Wantimpres.

Yusril menegaskan tidak ada persoalan dan kendala hukum atas perubahan nama dan kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

“Menurut hemat saya tidak ada persoalan mendasar yang kita hadapi dari perspektif hukum tata negara, mengenai perubahan kedudukan Wantimpres yang semula adalah lembaga yang kedudukannya berada di bawah presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Selasa 16 Juli 2024.

Menurut Yusril, penafsiran yang bakal dilakukan DPR justru lebih mendekati maksud dari UUD 1945 dibandingkan penafsiran yang tertuang dalam UU Wantimpres saat ini. Alasannya, DPA sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945 sebelum amandemen, termasuk golongan lembaga tinggi negara dan susunan DPA ditetapkan oleh undang-undang.

“Tugas dewan itu (DPA) adalah berkewajiban untuk memberikan jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.

Sementara itu, penjelasan UUD 45 ketika itu menyebut DPA sebagai council of state yang wajib memberikan pertimbangan kepada pemerintah.

Terkait hal itu, dalam pelajaran hukum tata negara sebelum amandemen UUD 1945, DPA digolongkan sebagai lembaga tinggi negara,” jelasnya.

Hanya saja, kata Yusril, pasca-amandemen UUD 1945, ketentuan yang mengatur DPA dihapus.

Yang tetap ada, kata dia, Pasal 16 UUD 1945, tetapi sudah diubah dan berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang.

“Apa nama dewan pertimbangan yang dibentuk oleh presiden itu, tidak ada nomenklaturnya di dalam UUD 1945 hasil amandemen.

Lalu, UU Nomor 19 Tahun 2006 menamakannya ‘Dewan Pertimbangan Presiden’ atau Wantimpres dan menempatkan lembaga itu di bawah presiden.

Itulah tafsir yang berkembang saat itu,” ujarnya.

Terkait hal itu, kata Yusril, tidak masalah jika DPR kembali menempatkan DPA sebagai lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain.

Alasannya, tidak ada lembaga lain dalam UUD 1945 yang diberikan kewenangan untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden selain Dewan Pertimbangan Agung atau nama lainnya.

“Penafsiran sekarang ini lebih mendekati maksud UUD 1945 dibandingkan dengan penafsiran tahun 2006 ketika UU Wantimpres dirumuskan oleh para pembentuknya, termasuk saya juga.

Tafsir tentang kedudukan lembaga-lembaga negara, atau tafsir apapun terkait dengan UUD selalu bersifat dinamis.

Segalanya pada akhirnya dapat diterima setelah tafsir itu dituangkan ke dalam norma undang-undang,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *