Pakar UB: Konflik Yai Mim dan Sahara Tunjukkan Bahayanya Kekuatan Narasi di Media Sosial

Berita65 Dilihat

Malang, Lintasnusa.com  – Perseteruan viral antara Yai Mim dan Sahara di media sosial menjadi cerminan nyata bagaimana konflik pribadi dapat berubah menjadi tontonan publik yang menghancurkan reputasi kedua belah pihak.

Pakar Manajemen Isu dan Krisis Komunikasi dari Universitas Brawijaya (UB), Maulina Pia Wulandari, S.Sos., M.Kom., Ph.D., menilai fenomena tersebut sebagai contoh berbahaya dari kekuatan narasi dan framing di era digital.

“Apa yang terjadi antara Yai Mim dan Sahara menunjukkan bagaimana narasi di media sosial dapat membentuk persepsi publik dengan sangat cepat, bahkan sebelum kebenaran terverifikasi,” ujar Maulina Pia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/10/2025).

Menurutnya, media sosial telah menjadi arena pertarungan opini yang sering kali mengabaikan etika komunikasi dan prinsip verifikasi informasi. Konflik pribadi yang seharusnya diselesaikan secara tertutup kini kerap berubah menjadi konsumsi publik, memperkeruh suasana dan memperbesar dampak reputasional.

“Begitu narasi terbentuk dan menyebar luas, sangat sulit menariknya kembali. Efeknya bisa merusak reputasi, menimbulkan perpecahan sosial, bahkan memicu perundungan digital,” tambahnya.

Maulina juga menyoroti pentingnya literasi digital di tengah derasnya arus informasi. Ia menegaskan bahwa masyarakat harus belajar memilah antara opini, fakta, dan framing yang sengaja dibangun untuk menciptakan sensasi.

Baca juga : Kecelakaan Maut di KM 11 Loa Janan, Pengendara Motor Tanpa Identitas Tewas di Tempat

“Di era algoritma ini, yang viral belum tentu benar. Publik harus lebih bijak dalam mengonsumsi konten dan tidak mudah terbawa emosi,” jelasnya.

Pakar komunikasi UB itu juga mendorong para pengguna media sosial, terutama figur publik, untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan narasi di ruang digital. Ia mengingatkan bahwa setiap kata, unggahan, dan tanggapan memiliki potensi besar membentuk opini publik yang berdampak panjang.

“Krisis komunikasi sering kali bukan disebabkan oleh fakta utamanya, tapi oleh bagaimana fakta itu dikomunikasikan,” tutup Maulina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *