Jakarta, Lintasnusa.com – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengungkapkan tiga penyebab utama banjir yang kembali melanda kawasan Jabodetabek. Menurutnya, kerusakan lingkungan di wilayah hulu, tengah, dan hilir menjadi faktor utama meningkatnya frekuensi serta intensitas banjir, khususnya saat musim penghujan tiba.
Dalam pernyataan resmi yang disampaikan melalui akun Instagram pribadinya pada Senin (7/7/2025), Dedi menyebutkan bahwa kerusakan di daerah hulu terjadi akibat alih fungsi lahan, seperti hutan dan perkebunan yang kini berubah menjadi bangunan permanen dan ilegal. Sementara itu, di wilayah tengah, banjir diperparah oleh pendangkalan dan penyempitan sungai, serta menjamurnya bangunan di sepanjang bantaran sungai. Sedangkan di daerah hilir, rawa-rawa yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air kini telah diurug dan dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman dan komersial.
“Langkah yang kami lakukan adalah mengembalikan fungsi daerah hulu, berani membongkar bangunan di kawasan resapan air dan kawasan perkebunan. Kami juga akan melakukan pelebaran dan pendalaman sungai serta membongkar bangunan di bantaran sungai. Di hilir, kami akan menangani danau yang menyempit akibat pengurugan,” tegas Dedi.
Ia tak menampik bahwa perubahan tata ruang di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, turut berkontribusi terhadap krisis lingkungan ini. Daerah-daerah yang seharusnya menjadi area konservasi dan resapan air telah beralih menjadi kawasan wisata dan pemukiman, menyebabkan ekosistem alami terganggu dan mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air hujan.
Baca Juga : PLN Siaga Penuh Dukung Keandalan Listrik Gelaran Piala Presiden 2025 di Stadion Jalak Harupat
Dedi juga merujuk pada kajian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang menyatakan bahwa alih fungsi lahan di Puncak memperburuk kapasitas serapan air, sehingga limpasan air langsung mengalir ke Jakarta dan meningkatkan risiko banjir di wilayah ibukota.
“Kalau di Megamendung dan Bogor diselesaikan, Jakarta akan selesai. Tapi kalau Bogor belum selesai, Jakarta tidak akan pernah selesai,” ujarnya menegaskan pentingnya restorasi lingkungan di wilayah hulu.
Lebih lanjut, Dedi menyebut bahwa saat ini sejumlah lokasi di kawasan Puncak telah disegel, namun proses pembongkaran bangunan tidak bisa dilakukan secara instan mengingat beberapa di antaranya memiliki izin resmi. Ia menegaskan bahwa pembongkaran bangunan legal akan dilakukan setelah prosedur administratif diselesaikan.
“Ada tahapan prosedur yang harus ditempuh, agak panjang karena bangunan-bangunan itu bukan bangunan liar. Kemungkinan pembongkaran baru dapat dilakukan pada sekitar September 2025, setelah proses administratif selesai,” pungkasnya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat berkomitmen penuh untuk mengembalikan kawasan-kawasan kritis menjadi daerah resapan air, guna memastikan keberlanjutan lingkungan dan menekan risiko banjir yang berulang setiap tahun di Jabodetabek.