Kronologi Siswa SD di Riau Tewas Diduga Akibat Perundungan Teman Sekolah

Berita62 Dilihat

Jakarta, Lintasnusa.com – Seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun, siswa kelas dua SD Negeri 02 Buluh Rampah, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, meninggal dunia pada Sabtu, 25 Mei 2025. Ia diduga menjadi korban perundungan (bullying) oleh empat teman sekolahnya, yang menyebabkan luka serius pada bagian ususnya.

Peristiwa tragis ini mencuat setelah keluarga korban menunjuk Fredik Pinakurany sebagai kuasa hukum. Kepada wartawan pada Sabtu (7/6/2025), Fredik menjelaskan kronologi kejadian yang menimpa kliennya.

Menurut Fredik, insiden pemukulan terjadi pada 14 Mei 2025 di belakang sekolah. Korban sempat mengaku bahwa dirinya dipukuli dan ditendang oleh empat teman sekelasnya.

“Pemukulan pertama diduga terjadi tanggal 14 Mei. Sejak saat itu korban mulai mengeluh sakit perut,” ujar Fredik.

Lima hari kemudian, pada 19 Mei 2025, korban pulang dari sekolah sambil menangis karena ban sepedanya bocor. Namun menurut keluarga, saat itu korban sudah merasa kesakitan dan belum mau bercerita. Setelah ditelusuri, sang ayah mendatangi rumah salah satu teman korban, dan di sana diketahui bahwa korban telah mengalami kekerasan fisik di sekolah.

Korban pun akhirnya mengakui kepada orang tuanya bahwa ia menjadi sasaran kekerasan oleh teman-temannya. Ayah korban kemudian melapor ke pihak sekolah. Kepala sekolah mengaku sudah menegur para siswa yang diduga melakukan pemukulan pada 23 Mei 2025.

Namun, dua hari setelah laporan itu, korban meninggal dunia karena luka serius di bagian usus yang diduga akibat kekerasan fisik.

Baca Juga : Pria Tanpa Identitas Tewas Gantung Diri di Katingan, Ada Tato dan Darah dari Mulut

Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Dr. Ratna Kusuma, M.Psi, mengatakan bahwa perundungan di kalangan usia sekolah dasar adalah hal serius yang tak bisa dianggap kenakalan biasa.

“Anak usia 7-8 tahun belum punya kontrol emosi dan empati yang matang. Jika lingkungan sekolah tidak membimbing dengan disiplin dan pendekatan psikologis, potensi perundungan bisa berujung pada kekerasan serius,” kata Dr. Ratna kepada Lintasnusa.com, Sabtu (7/6/2025).

Ia menekankan pentingnya peran guru, kepala sekolah, dan orang tua dalam menciptakan budaya anti-bullying di lingkungan pendidikan.

“Dalam kasus ini, bisa jadi ada kegagalan deteksi dini. Korban sempat menunjukkan tanda seperti menarik diri, menangis, sakit fisik, namun tidak ada penanganan yang segera,” tambahnya.

Keluarga korban meminta aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus ini. Kuasa hukum menyatakan bahwa ini bukan sekadar masalah disiplin anak-anak, tetapi sudah menyangkut kematian akibat kekerasan.

“Kami harap kepolisian tidak melihat ini sebagai kasus ringan. Harus ada tanggung jawab, termasuk dari pihak sekolah,” ujar Fredik.

Pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Indragiri Hulu serta Kepolisian setempat hingga kini belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus ini. Namun, aktivis perlindungan anak mulai ikut bersuara dan mendorong agar kejadian ini menjadi titik balik dalam penanganan serius kasus perundungan di sekolah dasar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *