Jakarta, Lintasnusa.com – 22 Juni 2025 Dunia internasional memberikan respons tegas dan beragam atas langkah militer yang diambil Amerika Serikat terhadap Iran pada Sabtu, 21 Juni 2025. Dalam serangan udara tersebut, tiga fasilitas nuklir utama Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan menjadi sasaran.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam pernyataan resminya mengklaim bahwa serangan tersebut berhasil melumpuhkan infrastruktur nuklir Iran. Ia juga memperingatkan kemungkinan serangan lanjutan jika Iran tidak menunjukkan itikad damai.
Langkah ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai negara dan organisasi dunia.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengecam keras serangan tersebut, menyebutnya sebagai “pelanggaran berat terhadap hukum internasional, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).” Ia menegaskan bahwa Iran memiliki hak untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan keselamatan rakyatnya.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, memperingatkan bahwa tindakan ini dapat menyeret kawasan ke jurang konflik berskala besar. “Saya sangat prihatin terhadap penggunaan kekuatan oleh Amerika Serikat terhadap Iran. Ini merupakan eskalasi yang sangat berbahaya,” ujar Guterres seraya menyerukan solusi diplomatik dan penghentian kekerasan.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mendukung penuh langkah Presiden Trump. Ia menyatakan bahwa program nuklir Iran merupakan ancaman langsung dan bahwa Amerika Serikat telah “mengambil langkah tepat demi keamanan global.”
Sebaliknya, Hamas mengecam keras serangan tersebut dan menuduh Amerika Serikat tunduk pada kepentingan Zionis. Dalam pernyataannya, Hamas mengajak dunia Islam untuk bersatu menghadapi agresi yang dinilai sebagai bentuk arogansi dan pelanggaran hukum internasional.
Arab Saudi dan Qatar menyuarakan kekhawatiran mendalam atas potensi eskalasi konflik. Kedua negara menyerukan seluruh pihak agar segera menghentikan aksi militer dan kembali ke meja perundingan.
Baca Juga : IDF Hancurkan Tiga Jet Tempur F-14 Iran di Tengah Operasi Rising Lion
Sementara itu, Oman mengecam tegas serangan tersebut dan memperingatkan risiko memburuknya stabilitas kawasan. Pemerintah Irak juga menilai bahwa ketegangan ini berpotensi memicu konflik regional yang lebih luas.
Di Eropa, seruan diplomasi datang dari berbagai penjuru. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyatakan bahwa Iran harus kembali ke meja perundingan untuk mencegah ancaman yang lebih besar.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menegaskan bahwa tidak ada solusi militer atas konflik ini. “Semua pihak harus menahan diri. Solusi yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui dialog,” katanya.
Pemerintah Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru menyampaikan keprihatinan yang sama. Jepang bahkan menggelar rapat darurat guna memastikan keselamatan warganya serta keamanan pasokan energi.
Media pemerintah Tiongkok, CGTN, memperingatkan bahwa Amerika Serikat tampaknya mengulangi kesalahan masa lalu di Irak. “Intervensi semacam ini hanya memperpanjang instabilitas di Timur Tengah,” demikian disampaikan dalam editorialnya.
Dari kawasan Amerika Latin, Venezuela dan Kuba menyuarakan penolakan keras atas tindakan militer AS. Presiden Kuba, Miguel Diaz-Canel, menyebutnya sebagai “pelanggaran mencolok terhadap Piagam PBB.” Sementara Pemerintah Venezuela menyerukan penghentian segala bentuk permusuhan.
Di dalam negeri, serangan ini memunculkan gelombang kritik. Tokoh Partai Demokrat, Hakeem Jeffries, menuding Presiden Trump bertindak di luar kewenangan dan membahayakan posisi Amerika Serikat secara global.
Lembaga advokasi seperti Council on American-Islamic Relations (CAIR) menilai serangan tersebut sebagai tindakan ilegal. Di sisi lain, kelompok pro-Israel seperti AIPAC memberikan dukungan penuh dan mendesak pemerintah mempertahankan kebijakan garis keras terhadap Iran.