Kebijakan Impor Gula di Era Pemerintahan Presiden Joko Widodo: Sebuah Tinjauan Historis dan Struktural

Berita97 Dilihat

Jakarta, Lintasnusa.com — Sehubungan dengan pemberitaan mengenai vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan RI, Thomas Trikasih Lembong, dalam perkara kebijakan impor gula, Kementerian Perdagangan menyampaikan bahwa praktik impor komoditas tersebut merupakan kebijakan lintas waktu yang telah dijalankan oleh seluruh menteri perdagangan di era Presiden Joko Widodo.

Kebijakan impor gula yang dilaksanakan sepanjang periode 2014–2024 merupakan respons terhadap kondisi objektif pasokan dan permintaan dalam negeri. Ketersediaan gula nasional yang belum mencukupi secara struktural menjadi dasar dari pengambilan kebijakan guna menjaga stabilitas harga dan memastikan kelancaran pasokan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat maupun industri.

Data Historis Impor Gula (2014–2023)

Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor gula Indonesia selama sepuluh tahun terakhir mengalami fluktuasi dengan tren peningkatan. Berikut data lengkapnya:

  • 2014: 2,93 juta ton

  • 2015: 3,36 juta ton

  • 2016: 4,74 juta ton

  • 2017: 4,48 juta ton

  • 2018: 5,03 juta ton

  • 2019: 4,09 juta ton

  • 2020: 5,54 juta ton

  • 2021: 5,48 juta ton

  • 2022: 6,01 juta ton

  • 2023: 5,07 juta ton

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kebijakan impor gula dilakukan oleh seluruh Menteri Perdagangan selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yaitu:

Baca Juga : Pernyataan Resmi Wakil Gubernur DKI Jakarta Terkait Kebakaran di Tebet

  1. Rachmat Gobel (2014–2015)

  2. Thomas Trikasih Lembong (2015–2016)

  3. Enggartiasto Lukita (2016–2019)

  4. Agus Suparmanto (2019–2020)

  5. Muhammad Lutfi (2020–2022)

  6. Zulkifli Hasan (2022–2024)

Tantangan Struktural Sektor Gula

Kondisi struktural industri gula nasional menjadi latar belakang utama yang menyebabkan Indonesia masih sangat bergantung pada impor. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen, mengungkapkan bahwa pabrik-pabrik gula peninggalan Belanda tidak pernah mengalami revitalisasi signifikan sejak kemerdekaan. Akibatnya, banyak pabrik mengalami penurunan rendemen dan efisiensi produksi.

Sementara itu, pabrik-pabrik baru yang dibangun sejak era Orde Baru umumnya merupakan pabrik rafinasi berbasis bahan baku impor (raw sugar) untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman.

Dari sisi historis, Indonesia pernah menjadi eksportir utama gula pada masa Hindia Belanda, dengan produksi mencapai lebih dari 3 juta ton per tahun pada 1930. Kini, produksi gula nasional hanya sekitar 2,2 juta ton, jauh di bawah konsumsi domestik yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk.

Sebagai perbandingan, negara-negara produsen utama gula dunia seperti Brasil, India, dan Thailand mampu memproduksi lebih dari 5 hingga 29 juta ton per tahun, jauh melampaui Indonesia.

Pemerintah terus berupaya mendorong transformasi sektor pergulaan nasional melalui kebijakan revitalisasi industri, pembangunan pabrik gula baru berbasis tebu rakyat, dan perluasan lahan perkebunan tebu di luar Pulau Jawa. Tujuannya adalah untuk mencapai ketahanan dan kemandirian pangan, termasuk swasembada gula secara berkelanjutan.

Kementerian Perdagangan tetap berkomitmen menjalankan kebijakan perdagangan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat, menjaga stabilitas harga pangan, dan mematuhi prinsip tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *